Dutch Hotel (2)

(cerita sebelumnya)

Berbeda dengan kemarin, hari ini kami lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Tepatnya Riana yang ingin keluar kamar. Ia bilang masih dihantui oleh kedatangan tamu tak diundang semalam, sehingga berdiam di kamar membuatnya tidak nyaman. Bahkan setelah ia berbicara dengan manajer hotel tentang kejadian semalam dan beberapa pelayan serta seorang manajer hotel memeriksa kamar kami namun tidak menemukan tanda-tanda atau bukti apapun.

“Maaf, Ibu. Setelah diperiksa, kamar Ibu aman. Tidak ada yang masuk ke kamar Ibu. Tentang suara-suara yang Ibu dan Bapak dengar, mungkin itu suara dari kamar sebelah?” ujar sang manajer dengan ramah. Meski sudah dilayani dengan ramah, namun Riana tetap kecewa. Ia ingin pindah kamar namun hotel sedang penuh, tidak ada kamar lain yang tersedia.

“Dia pasti bohong. Pasti ada kamar kosong tapi dia nggak mau kasih ke kita. Kita pulang aja yuk, Babe? Atau cari hotel lain?” ujarnya kesal begitu keluar dari kantor manajer.

“Tanggung, Sayang. Tinggal semalam lagi kita di sini. Mau cari hotel lain nggak mungkin. Sabar, yaa.. Besok kita udah balik ke Jakarta,” aku membujuknya.

Seharian mengunjungi tempat-tempat wisata dan kuliner di Surabaya membuat kami melupakan sejenak peristiwa di kamar kami semalam dan menikmati tempat-tempat itu. Berada di luar ternyata membuat mood Riana kembali ceria. Syukurlah kalau begitu. Bagiku yang penting Riana merasa senang. Percuma bulan madu kalau pengantinnya bad mood, bukan?

Sampai ketika malam tiba dan kami kembali ke hotel, aku pikir Riana akan kembali bad mood, namun ternyata tidak demikian. Lagi-lagi aku bersyukur bad mood-nya telah hilang. Ia hanya memintaku untuk mengunci pintu, memasang selot kunci, mengganjal pintu dengan kursi, dan mengeceknya 2-3 kali.

“Jendelanya jangan lupa, Sayang…”

Honey, ini lantai 3…”

“Ya tetap aja harus dikunci, Sayang…” ia berjalan ke arah jendela dan memastikan semua sudah terkunci, untuk yang ketiga kalinya.

“Aku sudah kunci dari tadi, kok.”

“Cuma memastikan aja, Sayang…”

Aku tersenyum ke arahnya. Meski sedikit agak berlebihan dengan masalah kunci, namun pada dasarnya Riana sudah kembali normal, ceria seperti biasa. Dalam hati berdoa semoga saja tidak ada kejadian yang sama seperti kemarin, agar tidak membuat Riana takut lagi. Sepintas aku merasa kunci-kunci itu percuma, tapi aku segera menepisnya.

Kulihat Riana merangkak naik ke tempat tidur. Aku segera menyusulnya dan menelusup ke dalam selimut. Tak peduli rasa capek dan penat setelah jalan-jalan seharian, kami tetap menyempatkan diri untuk bercinta sebelum tidur. Meski seharian tadi aku berjalan di samping Riana dan selalu menggandeng tangan atau bahunya, aku tetap merasa rindu padanya. Rindu bercinta dengannya. Maklum, pengantin baru. Rasanya ingin bercinta terus.

Rasa lelah membuat durasi percintaan kami berlangsung relatif singkat. Setelah kukecup keningnya, kami hanya berbaring dan tak lama kemudian aku terlelap, terbawa ke alam mimpi.

Dalam mimpiku aku merasa berada di tengah-tengah lapangan dengan suasana yang carut marut. Orang-orang berseragam berlarian sambil mengacungkan tangannya berteriak “MERDEKA”. Aku yang berada di tengah lapangan terbawa oleh massa bergerak ke arah sebuah gedung. Pagar besi yang melindungi gedung itu tak mampu menghadang gerakan massa. Mereka merobohkan pagar dan menelusup masuk ke halamannya. Sebagian masuk ke dalam gedung lewat pintu dan jendela, sebagian lagi mengambil tangga dan bergerak ke atap gedung.

Dalam waktu singkat atap gedung sudah ramai oleh massa. Dua orang memanjat tiang bendera dan merobek bendera tersebut. Aku terus terbawa oleh massa hingga ke dalam gedung. Orang-orang di dalam gedung berteriak panik dan berhamburan keluar. Beberapa orang berseragam menepuk pundakku dan mengisyaratkan agar aku mengikuti mereka. Terpaksa aku ikut berlari di belakang mereka, melintasi koridor menuju sebuah ruangan. Ketika berada di depan ruangan tersebut, mereka mendobrak pintunya.

BRAK!

Suara dobrakan pintu begitu nyata terdengar, disusul dengan langkah kaki yang berderap memasuki ruangan. Kudapati diriku berada di tempat tidur, bersama Riana, yang ikut terbangun karena mendengar suara gaduh. Aku langsung menempelkan jari telunjuk di bibirku tanda ia tidak boleh bersuara. Tangannya yang memelukku semakin erat mencengkeramku. Tubuhnya bergetar ketakutan. Kulirik jam tanganku. Pukul 3.03. Waktu yang sama seperti kejadian kemarin.

Dengan gerakan sangat pelan aku menarik selimut dan menyembunyikan Riana hingga tak terlihat. Kuselimuti diriku sendiri sampai hidung, hingga mataku masih bisa tetap melihat apa yang terjadi. Sesekali aku menghentikan gerakanku dan pura-pura tidur. Tapi sepertinya mereka tidak menyadari keberadaan kami.

Mereka menggeledah ruangan ini dengan kasar hingga menjatuhkan barang. Seseorang membentak-bentak memanggil sebuah nama. Dua orang lainnya datang menyeret seseorang berambut bule dan bertubuh lebih tinggi daripada mereka. Dengan kasar mereka mendudukkannya di sebuah kursi dan menginterogasinya. Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan namun tampaknya orang Belanda tidak mau menjawab pertanyaan yang mereka ajukan. Setelah dibentak dan dihajar beberapa kali, orang Belanda itu tetap tak menjawab, malah melakukan perlawanan. Besar tubuhnya membuat ia mudah memukul orang-orang yang menginterogasinya mundur. Salah seorang dari mereka mengeluarkan pistol dan mengarahkan ke orang Belanda tersebut yang membuat temannya kewalahan.

Sementara di luar, entah sejak kapan terdengar bunyi gaduh dan sorak sorai massa, serta pekikan “MERDEKA!”

DOR!

Suara tembakan itu begitu memekakkan telinga. Sama seperti kemarin.

Orang Belanda itu terkena timah panas, seketika roboh bersimbah darah.

Riana memekik pelan. Rupanya ia mengintip dari balik selimut dan menyaksikan peristiwa itu. Sama sepertiku, ia juga menyaksikan orang-orang itu bergerak cepat ke arah pintu, bersamaan dengan hilangnya suara-suara ramai di luar. Dan setelah itu suasana kembali sepi.

Aku melompat dari tempat tidur, melihat ke arah pintu tempat mereka menghilang. Pintu masih terkunci rapat dan selot kunci pun masih tertutup. Kursi yang mengganjal gagang pintu juga tidak berubah posisi sedikit pun. Mereka hilang begitu saja di udara.

“Kamu lihat tadi?? Mereka semua??” Riana tampak shock.

“Tenang, Sayang… Mereka udah pergi…” Kuhampiri ia dan kurengkuh kepalanya agar membuatnya tenang. Ia melepaskan pelukanku dan berjalan ke arah mini bar, membuka kulkas kecil, dan mengambil sebotol minuman.

“Kamu mau?” ia menyodoriku botol yang setengah isinya telah ia minum. Aku mengambil botol itu dan menenggak sisa isinya sampai habis. Setelah minum kami pun merasa lebih tenang. Riana kembali mengambil botol berikutnya dan duduk di pinggir ke tempat tidur.

“Menurut kamu yang tadi itu apa? Siapa?”

“Kamu nggak takut?”

“Awalnya takut. Tapi aku lebih takut lagi kalau mereka manusia sungguhan, orang jahat. Kita bisa celaka kalau ada orang jahat masuk ke sini” ia menenggak isi botol. “Untungnya mereka cuma…” ia menghentikan kalimatnya dan mengangkat bahu.

“Iya…” aku menghela nafas. Perasaan antara lega dan ngeri yang menjadi satu. Kududuk di sampingnya, mengambil botol dari tangannya dan menenggak isinya.

“Sepertinya mereka pejuang kemerdekaan, ya? Mereka merebut gedung ini yang mungkin sebelumnya adalah benteng pertahanan Belanda. Menyerbu ke dalam, mencari pimpinan tentara Belanda, yang ruangannya kebetulan adalah kamar ini…”

“Sayang, udahlah. Nggak usah dipikirin. Ayo kita tidur lagi.”

Kami berbaring sambil berpelukan. Sejenak kami saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sungguh pengalaman yang mendebarkan; menginap di kamar berhantu. Besok kami akan melaporkannya ke pihak manajemen.

Pagi harinya kami check out. sambil mengurus administrasi, aku menceritakan kejadian yang kami alami semalam dan meminta berbicara dengan manajer hotel.

“Kami mohon maaf atas kejadian yang Bapak alami. Tapi terus terang kami baru kali ini mendengar tamu mengalami hal itu. Selama ini tidak pernah ada yang complain,” ujar resepsionis ramah dan tetap tersenyum.

“Tapi buktinya saya dan istri ngalamin hal itu, Mbak. Dua kali, malah. Ya selama kami menginap di sini, deh…” aku menjelaskan dengan seramah mungkin, seramah resepsionis itu. Aku menoleh ke samping dan ke belakang, mencari Riana agar ia mendukung ceritaku. Kupikir ia sedang duduk di dekat koper-koper kami, tapi ia tidak ada di situ. Mungkin sedang ke toilet.

Seorang resepsionis lelaki yang tampaknya lebih senior menghampiri kami dan mengusulkan agar aku ke kantor manajer.

“Saya antar, Pak,” kata resepsionis itu tak kalah ramah dengan koleganya.

“Sebentar, saya tunggu istri saya dulu. Sepertinya sedang ke toilet.”

Resepsionis itu saling berpandangan. Aku mulai menelepon nomor Riana beberapa saat kemudian karena ia tak juga muncul. Terdengar nada tidak tersambung. Aku meneleponnya lagi, dan lagi. Selalu nada tidak tersambung yang terdengar. Mungkin di toilet tidak ada sinyal.

“Tunggu sebentar lagi, ya, Mas,” kataku. Resepsionis mengangguk dan meninggalkanku di sofa, di antara koper-koperku. Ia kembali ke meja resepsionis dan berbicara dengan resepsionis lainnya. Sekilas kulihat mereka menatap ke arahku sebentar lalu melanjutkan pekerjaannya kembali.

Kutunggu Riana hingga 10 menit, namun ia tetap tak kunjung tiba di lobi. Aku meminta tolong pada salah satu resepsionis perempuan untuk mengecek ke toilet. Sebentar kemudian ia kembali ke lobi dan mengatakan tidak ada orang di toilet.

Aku panik. Di mana Riana??

“Pak, sebaiknya Bapak ke kantor manajer sekarang. Nanti kalau istri Bapak datang, akan kami antar ke sana juga.”

Akhirnya aku menuruti resepsionis senior itu dan mengikutinya ke kantor manajer. Di sana aku menceritakan tentang peristiwa yang kami alami selama kami menginap di kamar hotel ini.

“Kemarin kami pernah mengadukan hal ini ke Bapak, kan? Ternyata mereka bukan manusia seperti kita, Pak. Tapi hantu. Hantu para pejuang dan orang Belanda. Kami tidak mengada-ada.”

Manajer itu terlihat heran, “Kemarin?”

“Iya, kemarin saya dan istri saya sudah bicara sama Bapak tentang suara-suara yang kami dengar di dalam kamar kami. Tapi waktu itu kami hanya mendengar suara, bukan penampakan. Kami pikir ada orang yang masuk ke kamar kami.”

“Maaf atas kejadian yang Bapak alami di hotel kami. Tapi kami juga heran, Pak. Belum pernah ada yang complain semacam itu di sini. Baru Bapak yang pertama kali complain.”

“Istri saya juga melihatnya. Kami berdua melihatnya. Tapi entah di mana dia sekarang. Saya telepon, nadanya nggak nyambung. Sinyal di hotel ini juga perlu diperhatikan, Pak.”

Si manajer menanggapi ceritaku masih dengan senyum. Namun raut wajahnya memancarkan keheranan. Aku bisa tahu itu.

Ia memanggil resepsionis untuk ke ruangannya, kemudian menawariku minum. Begitu resepsionis muncul di ruangan, aku langsung menanyakan apakah Riana sudah muncul. Resepsionis tidak menjawab, malah bertukar pandang dengan manajernya.

“Bagaimana, Ndi? Istri bapak ini sudah ketemu? Sudah dicek?” tanya manajer itu menepuk bahu si resepsionis.

Resepsionis itu menunjukkan sesuatu pada manajernya. Manajer menghela nafas dan wajahnya kembali menghadapku.

“Maaf, Pak. Kami sudah mengecek sampai berkali-kali di waktu Bapak check in. Bapak hanya sendirian, tidak dengan istri,” katanya perlahan dan sangat hati-hati.

“Tidak mungkin!” aku menyangkal. Kali ini suaraku menggelegar.

“Pelayan yang mengantar Bapak ke kamar juga mengatakan bahwa Bapak sendirian waktu itu.”

“Tidak mungkin! Saya bersama istri saya. Kami baru saja menikah!” Kutunjukkan sebentuk cincin yang melingkar di jari manis kananku.

“Maaf, Pak. Soal itu kami tidak tahu menahu. Tapi kenyataannya Bapak datang sendiri waktu itu. Mungkin ada pihak keluarga Bapak yang bisa dihubungi untuk menolong Bapak?”

“Saya akan hubungi polisi melaporkan istri saya hilang di hotel ini!”

“Bapak tidak bisa melaporkan istri Bapak hilang, karena istri Bapak memang tidak ada.”

“Kemarin pagi saya dan istri menemui Bapak!” Aku menggeram marah, menggebrak meja. Dua orang security tiba-tiba masuk ke ruangan. Rupanya mereka sudah berjaga-jaga sedari tadi di luar dan sekarang mereka bersiap membekukku. Aku mengangkat kedua tangan tanda aku akan tenang. Mereka diam di tempat, bersiap-siap.

“Bapak harap tenang,” manajer berusaha menenangkanku. “Bapak bilang kemarin sudah menemui saya? Tapi kemarin pagi saya ada meeting di luar, baru datang setelah jam makan siang.”

“Bohong! Ini konspirasi!”

Dengan sigap security bergerak ke arahku, memegang kedua tanganku. Aku menepisnya. Manajer menghela nafas, menyuruh security menahan diri.

“Saya akan buka koper saya dan membuktikan kalau saya bersama istri saya. Baju-baju istri saya ada di dalam koper. Surat nikah juga.”

“Silakan, Pak.”

Dengan cepat aku membuka koper dan membongkar isinya. Semuanya adalah pakaian dan barang-barang milikku. Tidak ada pakaian Riana, tidak juga ada surat nikah.

“Ada satu koper lagi milik istriku. Bajunya di situ semua,” aku celingukan mencari koper satu lagi.

“Bapak hanya bawa 1 koper, Pak…”

“Tidak. Kami bawa 2 koper. Satu milik saya, satu lagi milik istri saya. Mungkin tertinggal di lobi,” aku berlari keluar ruangan, namun 2 security itu menahanku. Sang manajer kembali berusaha membuatku tenang.

“Begini, Pak. Daripada ribut-ribut, lebih baik kita melihat CCTV kami, bagaimana? Mulai dari Bapak masuk ke hotel 2 hari yang lalu, sampai Bapak check out beberapa saat yang lalu. Oke?”

“Ide bagus!”

Kami bersama-sama menuju ruang monitor, dikawal 2 security. Di sana, manajer meminta operator menjalankan rekaman 2 hari yang lalu. Di antara beberapa tamu yang datang, tampak seorang pria mendatangi meja resepsionis dan kemudian diantar oleh seorang pelayan ke kamar pesanannya.  Si manajer menunjuk pria itu dan mengatakan bahwa itu aku.

Tanpa diberitahu, aku dapat mengenali diriku sendiri.

Aku terpana dan menggeleng keras. Aku berani bersumpah aku datang bersama Riana. Dia nyata. Genggaman tangannya, sentuhannya, tubuhnya, wanginya, semua begitu nyata. Aku benar-benar bersamanya.

Sambil memutar-mutar cincin di jari kananku, aku melihat rekaman itu diputar ulang. Lagi dan lagi. Kepalaku berdenyut hebat.

***

Jakarta, 2 Desember 2012

2 Responses to “Dutch Hotel (2)”

  1. Hmm twist yang drastis dan agak terkesan mendadak (apa saya yang nggak sadar sejak awal ya?) Kalau Riana juga hantu kenapa dia ketakutan? Atau dia adalah hantu dari orang yang menjadi korban di hotel tsb? Masuk akal juga karena sejak awal Riana yang merekomendasikan hotel itu.

    Secara keseluruhan, bagian kedua ini lebih menarik dari bagian pertama.

    • hmm.. mendadak ya? apa yg bikin jadi terkesan mendadak?
      hehe soal siapa itu Riana, biar jadi tebak2an pembaca aja.. apakah dia hantu juga, atau cuma sekedar delusi-nya si tokoh’aku’? 😉
      hehe.. emang sih, yg bagian pertama terlalu bertele2 ya? perlu diulik lagi nih. thanks ^_^

Leave a reply to sigota Cancel reply