Pengawal

Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Jalan sudah sepi dan terlihat suram oleh penerangan lampu jalan yang remang. Hanya segelintir kendaraan yang lewat melaju dengan kecepatan tinggi. Sementara di pinggir jalan rumah dan pertokoan terlihat tak ada tanda-tanda kehidupan. Beberapa sudut dan lorong tampak gelap.

Alya memandang pemandangan di luar dari jendela taksi yang ditumpanginya. Tidak banyak yang bisa dilihat kecuali kesunyian dan keremangan malam. Sangat berbeda dengan keadaan di siang hari. Namun ia lebih menyukai suasana malam hari seperti ini. Terlebih karena sesuai dengan suasana hatinya yang sedang galau.

Beberapa menit yang lalu ia bergembira di acara reuni kecil-kecilan dengan beberapa teman dekat semasa kuliah dulu, berkumpul di sebuah restoran untuk makan dan minum bersama, saling bertukar kabar dan cerita. Namun ketika mereka semua telah membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing, Alya merasa hampa. Kegembiraan yang tadi ia rasakan perlahan pudar dan berganti dengan perasaan gundah. Tiba-tiba ia merasa amat kesepian di antara keramaian.

Ia terus memandang keluar jendela, hanyut dengan segala pikiran yang menyelimuti otaknya. Duduknya seakan tenggelam di jok belakang. Udara dingin yang berhembus dari AC tidak ia rasakan. Ia sedang menyatu dengan kesunyian.

Taksi terus melaju, membelah Jakarta yang nyaris tidur.

 

*

 

Lelaki separuh baya itu melirik penumpangnya dari kaca spion. Sebentar kemudian ia melirik jam tangannya, lalu melirik ke jok belakang lagi, dan begitu seterusnya. Ia menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. Namun yang lebih penting lagi adalah tempat di mana ia akan bertindak.

Jika waktu dan tempatnya sudah tepat, ia akan memberi tanda pada dua orang temannya yang bersembunyi di bagasi yang telah dimodifikasi itu dengan cara mengerem mendadak. Lalu dua temannya akan mendorong jok belakang dari bagasi, sehingga mereka bisa langsung melumpuhkan perempuan itu dan mengancamnya dengan senjata. Selanjutnya mereka akan menguras uang dan ATM serta semua benda yang dibawa perempuan itu, dan kemudian meninggalkannya di suatu tempat.

Ia sedang memberi aba-aba pada dirinya sendiri ketika ia melirik penumpangnya sekali lagi dari kaca spion. Namun seketika ia merasa seluruh badannya menggigil dan bulu kuduknya meremang dahsyat. Yang ia lihat bukanlah sosok seorang perempuan muda yang sedari tadi duduk di taksinya, melainkan sesosok lelaki bertubuh tinggi besar dan memakai pakaian tentara Belanda jaman dahulu lengkap dengan bayonet di tangan kanannya. Dari kaca spion itu ia bisa melihat mata biru si tentara sedang menyorot tajam ke arahnya.

Tak percaya dengan apa yang ia lihat di kaca spion, supir taksi itu memberanikan diri melirik ke jok belakang dari bahunya. Tampak di jok belakang adalah perempuan yang tadi, masih dengan posisinya semula.

Supir taksi mengusap wajah dan menggosok matanya dengan kikuk. Mungkinkah ia salah lihat? Atau tadi hanya halusinasinya saja?

Dengan amat perlahan ia kembali melihat ke kaca spion dan berharap ia akan melihat pantulan seorang perempuan di jok belakang. Nyatanya benar ia melihat pantulan penumpangnya. Namun ia juga melihat bayangan tentara itu lagi, kali ini duduk di samping perempuan itu. Dan mata biru itu masih saja menatapnya tajam. Seakan mengancam agar jangan berbuat macam-macam terhadap perempuan itu.

 

*

 

Alya turun dari taksi sambil mengucapkan terima kasih kepada supir taksi. Namun supir itu diam dan langsung tancap gas begitu Alya menutup pintu taksinya.

“Kenapa sih supir itu??” ia bertanya dalam hati sambil geleng-geleng kepala. Baru kali ini ia naik taksi dengan supir yang terlihat sangat gelisah. Nyaris selama perjalanan supir itu selalu melirik jam tangannya seakan ia sedang terburu-buru dan akan terlambat ke suatu tempat. Supir itu juga secara intens mengusap wajah dan menggosok matanya seakan ingin mengusir kantuk. Dia juga selalu mengusap tengkuknya atau tangannya sendiri berkali-kali seakan-akan ia merasa amat kedinginan. Ditanya pun dia diam atau hanya menjawab singkat dan cepat. Dia adalah supir taksi paling aneh yang pernah Alya temui.

Begitu taksi itu pergi, Alya segera masuk ke dalam rumah kosnya.

 

*

 

“Maaf, Non…” Bik Nah menyapa dan menghampirinya ketika mereka berpapasan di lorong menuju kamar Alya. “Maaf, Non tahu kan kalau nggak boleh bawa lelaki ke sini. Apalagi sekarang udah malem…” imbuhnya berbisik.

“Ha?” Alya terbengong. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Bik Nah ikut terkejut dan menjadi salah tingkah.

“Aduh maaf, Non… Bibi salah lihat. Maaf…” perempuan itu membungkuk-bungkuk dan mulai pergi menjauh.

“Sebentar, Bi. Maksudnya apa?”

“Sudah. Sudah malam. Bibi ngantuk, mau tidur dulu. Permisi, Non. Maaf, ya…” Bik Nah pun bergegas pergi. Meninggalkan Alya yang masih terbengong di lorong. Sedikit kengerian menyergapnya dan ia pun segera masuk ke dalam kamar.

Ia sering mendengar cerita dari anak-anak kos kalau Bik Nah dapat melihat sesuatu yang orang lain tidak dapat lihat. Ia tahu memang ada orang yang mempunyai kemampuan seperti itu. Mungkinkah tadi Bik Nah melihat sesuatu? Bulu kuduknya kembali berdiri. Teringat akan sikap supir taksi tadi, yang bersikap kikuk dan gelisah. Sama seperti sikap Bik Nah barusan.

 

*

 

Keesokan harinya Alya menemui Bik Nah dan menanyakan perihal kemungkinan apa yang dilihat Bik Nah tadi malam. Awalnya perempuan separuh baya itu tidak mau mengaku karena khawatir akan membuat Alya takut. Namun setelah dibujuk, barulah ia mengaku bahwa ia melihat seorang lelaki di belakang Alya. Tadinya ia tidak menyangka bahwa sosok itu bukan manusia karena terlihat amat jelas.

Namun begitu ia perhatikan, nampaklah keganjilan pada lelaki itu. Selain kulit putih pucat dan rambut pirang serta tubuhnya yang tinggi besar, lelaki itu memakai pakaian tentara Belanda yang sudah kuno.

Mendengar itu Alya kembali terbengong. Antara percaya dan tidak percaya.

“Namanya Rudolf, Non. Dia kapten tentara Belanda yang sudah lama tinggal di Indonesia di abad ke sembilan belas. Dia ngikutin Non sejak Non melakukan pemotretan di kuburan tua Belanda 2 tahun yang lalu. Katanya dia tertarik sama Non…”

“Hah???” Alya kaget setengah mati. Benar 2 tahun lalu dia melakukan pemotretan di sebuah kuburan tua Belanda. Ia membuat foto dengan konsep gothic untuk tugas fotografinya semasa kuliah dulu. Tapi dari mana Bik Nah tahu? Dua tahun yang lalu ia belum kos di tempat ini.

“Sejak itu dia ngikutin Non terus. Sampai semalam dia baru menampakkan diri karena Non mau dicelakai sama supir taksi. Dia nggak mau Non celaka. Wah… Non punya pengawal…”

“Bik Nah tahu dari mana??” Alya bergidik ngeri. Meski siang hari Bik Nah berhasil membuatnya takut. Cerita Bik Nah lebih menakutkan dibanding film horror apapun yang pernah ia lihat.

“Tahu dari dia, Non. Barusan dia bilang ke Bibi. Dia duduk di sebelah Non…”

 

 

***

Leave a comment